Selasa, 29 Juni 2010

Misteri Gitar

Album-album itu tak laku sebanyak album-album grup atau penyanyi solo. Tapi keempat gitaris itu percaya diri untuk tetap masuk studio dan merekam karya-karyanya.
Tanpa gitar, barangkali, tak akan ada rock’n’roll. Atau, lebih tepat lagi, harus diakui bahwa gitar merupakan instrumen kunci dalam perkembangan aneka musik populer yang muncul sejak akhir 1940-an. Lebih spesifik harus disebut: gitar elektrik. Pemainnya malah sering menjadi “pahlawan”, lebih banyak ketimbang pemain instrumen lain. Apalagi gitaris yang memang berkonsentrasi pada instrumennya dalam berkarya: mereka yang menghasilkan album-album instrumental, atau yang spesifik memberi porsi signifikan bagi seni bermain gitar.

Sejumlah nama bisa disebut sebagai contoh: Django Reinhardt (1930-an), Hank Marvin (1950-an), John Mclaughlin dan Jeff Beck (1960-an), Al di Meola (1970-an), Allan Holdsworth, Joe Satriani, dan Steve Vai (1980-an), dan Marty Friedman serta Jason Becker (1990-an). Bisa juga ditambahkan Steve Hackett dan Steve Howe, dua gitaris dari era 1970-an yang masih aktif rekaman sampai kini dengan karya-karya yang tak pernah mengecewakan.

Di sini hampir tak ada gitaris seperti itu. Di antara kita mungkin ada yang pernah terkesan pada Jopie Item, Ian Antono, dan Eet Sjahranie. Tapi mereka bermain dalam format band dengan vokal; bahkan jika mereka menyisipkan bagian solo pada setiap lagu yang mereka bawakan, fokus utamanya tetap saja bukan gitar, melainkan organisasi band dengan peran merata bagi setiap personelnya. Lanskap berubah setelah Budjana berani mendobrak kebekuan. “Waktu itu saya nekad saja,” kata gitaris pendiri band pop Gigi ini tentang album debutnya, Nusa Damai (1997). Belakangan dia diikuti oleh Tohpati, Balawan, dan Donny Suhendra (yang sebenarnya terhitung senior). Merekalah yang rajin merilis album yang menjadi etalase keahlian mereka sebagai pemetik instrumen berdawai enam itu.
Gitar itu misteri, seperti wanita. Sampai mati mungkin baru ketemu 100 persen misterinya.


Sudah pasti album-album itu tak laku sebanyak album-album grup atau penyanyi solo. Tapi keempat gitaris itu percaya diri untuk tetap masuk studio dan merekam karya-karyanya. Dan lebih dari itu, mereka pun terhitung sering tampil live --Budjana kerap berduet dengan Tohpati, atau malah bertrio dengan Tohpati dan Balawan (lewat beberapa kali penampilan Trisum). Pertunjukan-pertunjukan mereka bahkan seperti big matches di arena Piala Dunia sepak bola, selalu sold out.

Dengan kata lain, mereka sanggup menjadikan musik gitar sebagai daya tarik. Musik mereka bisa berupa apa saja --selain lebih sering berupa instrumental, juga cenderung eksperimental (Budjana dalam solonya, Tohpati dengan simakDialog, atau, yang lebih mutakhir, dengan Ethnomission).

Saya tak tahu persis bagaimana mulanya orang-orang berminat pada jenis musik yang dihasilkan keempat gitaris itu. Tapi bagi saya semuanya merupakan perkembangan logis dari apa yang telah menundukkan saya sejak awal. Melalui album --Wish You Were Here (Pink Floyd, 1975) dan E.C. Was Here (Eric Clapton, 1975) --yang pertama kali saya beli sendiri dengan uang saku, saya sekaligus menjadi terbiasa dengan komposisi panjang yang terbagi menjadi beberapa bagian dan solo gitar. Ada track berjudul Shine On You Crazy Diamond dalam Wish You Were Here yang menjadi etalase David Gilmour dengan Fender Stratocaster-nya. Begitu pula dengan E.C. Was Here, di sinilah Clapton sebagai gitaris kembali bersinar setelah pulih dari kecanduan narkoba.

Setelah kedua album itu, hampir tak ada kesulitan yang menghadang begitu saya berturut-turut mengenal The Mahavishnu Orchestra (yang dikomandani gitaris John McLaughlin), Jeff Beck (setelah mulai bermain-main dengan jazz rock), Al Di Meola, juga Jan Akkerman. Semuanya berjalan seperti alami saja. Dan wajar pula jika semua yang saya dengarkan ikut memacu saya untuk bermimpi menjadi pemain gitar --mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan, sebab sekeras apa pun saya berusaha bakat saya memang bukan di situ.

Mengapa gitar bisa begitu memukau? Video Guitar (produksi 1991), yang dipandu gitaris veteran Jeff “Skunk” Baxter dan dirancang sebagai ekskursi untuk menjawab apa dan mengapa gitar, menunjukkan betapa beragamnya alasan para gitaris kenamaan untuk memilih dan memainkannya --biar keren, untuk memikat perempuan, medium ekspresi yang menenangkan, instrumen yang bisa dibawa ke mana-mana, dan lain-lain. Walau begitu, ada satu hal yang tak seorang pun membantah: bahwa gitar memberi begitu banyak kemungkinan dalam mengolah musik. Meminjam kata-kata Budjana, “Gitar itu misteri, seperti wanita. Sampai mati mungkin baru ketemu 100 persen misterinya.”

Mereka yang tak memainkan gitar pasti tak sependapat. Tapi begitulah: sulit dibantah bahwa gitar hampir tak pernah absen dalam formasi band. Dan karena misteri itulah saya percaya bahwa bagi para peminat musik-musik gitar, mereka yang memainkannya maupun yang tidak, akan selalu ada batas-batas yang terus dilampaui: hal-hal baru, setidaknya sesuatu yang lebih maju, pasti muncul satu demi satu. Kejadiannya bisa kapan saja, dengan kemungkinan jeda yang panjang sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar